Matahari mulai berada di atas kepala, namun saat itu semilir angin menggodaku untuk lupa jika siang itu cukup terik bagi sebagian orang. Aku bersama kedua teman-temanku memesan grab untuk pergi ke Kota. Oya, perkenalkan namaku Miss Oren, itu julukanku saat awal-awal menjejakkan kaki di kota kecil sejuta cerita ini, Pare. Ya, oren identik denganku, meski warna kesukaanku biru dan merah muda.
Hari ini kami pergi untuk menonton. Beberapa hari lalu aku berusaha mengajak teman-teman kursusku untuk menonton film ini. Memang bagi sebagian besar mereka tidak terlalu tahu film ini, dan juga aksi 212. Tapi, aku berharap ada teman yang mau ikut denganku, walau sendiripun akan tetap aku lakoni jika memang tidak ada yang mau pergi denganku. Bertepatan sekali, temanku yang biasanya sering ikut kajian selama kami di Pare sedang perjalanan dari Bogor, jadi ia tidak bisa membersamaiku kali ini.
Alhamdulillah, akhirnya dua temanku mau ikut denganku walau mereka laki-laki semua. Kami naik mobil online, aku duduk di depan mereka di belakang. Aku berdoa semoga film ini menarik buat mereka, supaya mereka tidak berkecil hati usai menontonnya.
Sesampainya di Golden Teater Kediri, suasana cukup lebih lengang ketimbang saat nonton D*lan (untuk kepentingan liputan), mungkin juga karena aku datang bukan hari pertama tayang. Jadi anggapanku film ini di sini (Kediri), bakal sepi atau kalah rating semakin menjadi. Tapi, ternyata pikiranku salah, sudah banyak yang memesan tiket terbukti saat kami memesan, tinggal bangku bagian depan yang tersisa! Padahal kami membeli tiket termasuk datang lebih awal dari penayangannya yang jam 13.00 WIB. Wah ternyata, antusiasme warga sini lumayan besar juga.
Tidak hanya itu, antusiasme warga lebih tampak lagi, saat aku keluar teater. Banyak rombongan yang berdatangan dan antre, jadi teringat di beberapa tempat bahkan sampai sold out! Bahkan, di Lampung sendiri, hari pertama tanggal 9 Mei di Mall Boemi Kedaton (MBK) udah abis. Di bawah ini bukti chatt teman-teman yang aku screnshoot, saat mau booking tiket.
Kembali lagi, aku dan temanku mengambil posisi duduk masing-masing. Seperti biasa, selalu ada iklan. Membuatku semakin menunggu, dan tak sabar ingi melihat bagaimana 'pengemasan' filmnya. Aku takut kecewa, itu saja.
Berkisah dari sebuah kantor harian majalah ternama di Ibukota, yang pagi itu telah selesai cetak dengan headline Aksi 411 Ditunggagi Politik, membuat seorang teman Rahmat yang dari performance-nya urakan, rambut gondrong, celana robek, tapi dia yang menentang tulisan Rahmat yang seorang jurnalis lulusan Harvard, Amerika. Di saat itulah perdebatan terjadi, sampai mereka bertiga ada di turunan tangga. "Yang radikal tu otak lu, sam gue! Tapi kalo gue, radicalism romantic!" Bagian ini juga, yang sempet menarikku penasaran untuk nonton saat melihat thriller filmnya.
Flashback, dua tahun silam, aksi 411 terjadi sedemikian rupa. Aku menyaksikan walau hanya lewat layar televisi, bagaimana cemasnya malam itu. Para pengunjuk rasa datang dengan damai, tanpa membawa senjata tajam, karena peserta aksi sangat-sangat di larang membawa sajam (senjata tajam), lalu harus berhadapan dengan pihak aparat dengan alat-alat seperti mau perang. Para peserta aksi ditembaki gas air mata, memang itu bukan bom, tapi alat itu pun berbahaya. Mereka teman-temanku, ustad-ustad kami, yang sedang berjuang. Aku yang menonton hanya bisa cemas.
Setelah itu memang banyak opini yang berkembang dan diungkapkan oleh pejabat yang menurutku tidak seharusnya berkata seperti itu, karena jika aksi ini ditunggangi oleh kepentingan politik bagiku dan para peserta kasi adalah su'udzon yang besar. Bahkan sampai terjadinya aksi 212, kami masih saja dibilang jika aksi kami ditunggangi kepentingan politik karena ada tokoh politik yang naik podium dan ikut berorasi. Masyaa Allah, Allah lebih mengetahui hati-hati hambaNya.
Kebencian Rahmat dalam film itu, terhadap Islam dalam film itu tersebab ia salah menilai kasih sayang sang ayah terhadap dirinya di masa lalu, di tambah cara berpikir rahmat yang jauh dari nilai Islam, membuat rahmat anti pati kepada ayahnya dan berujung pada Islam. Rahmat sepuluh tahun tidak pernah pulang, sapai-sampai temannya mengira Rahmat hidup sebatangkara.
Akhirnya rahmat pulang, setelah mendengar kabar ibunya meninggal. Di sana ia bertemu teman masa kecilnya Yasna, yang diperankan Meyda Sefira. Yasna yang tampak mengurusi keluarga Rahmat, bahkan adik Yasna lebih sering mengurusi Ki Zainal yang tak lain tak bukan adalah ayah Rahmat, penggagas aksi longmarch dari Ciamis.
Desember 2016
Siapa yang tidak ternyuh, terkoyak-koyah hatinya saat melihat video ataupun tayangan berita aksi longmarch dari Ciamis menuju Jakarta. Jarak antara Ciamis ke Jakarta bukanlah seperti terpeleset lalu sampai. Tapi, nyatanya aksi ini tidak menyurutkan langkah para santri menuju Jakarta. Mereka melintasi dari satu daerah ke daerah lain. Ibu-ibu berjajar di jalan menyambur mereka dan memberi mereka nasi kotak, apakah ini politik? Dimana hati nurani melihat kebenaran ini, solidaritas kaum muslimin? Bahkan tak ada satu parpolpun yang sanggup mendanai peserta kasi Bela Islam yang dari berbagai penjuru desan dan kota dari Indonesia bahkan luar negri. Ini semata-mata panggilan Allah. Tidak, jika ini panggilan manusia, Monas tidak akan jadi lautan putih. Tidak akan tertib. Akan ada korban. Nyatanya walau sulit, para peserta aksi damai selamat, alhmadulillah.
Pelepasan gas air mata, longmarch santri Ciamis, menggelorakan semangat kaum muslimin yang lainnya. Termasuk diri pribadi dan juga teman-teman perempuan lainnya. Ruh kami, memang bukan sekedar ruh untuk aksi (baca; demo), tapi karena melihat kejadian 411, keberanian kami datang memang, sudah kami ikhlaskan seluruh jiwa kami, kami siap dengan apapun resikonya nanti. Bagi aku pribadi, suasana Ka'bah sedikit lebih dekat dari yang seenarnya. Bagi diri pribadi sperti banyak sekali para malaikat menaungi, selama perjalanan walau rintangan membentang dari polisi yang masuk ke rumah-rumah menghimbau untuk tidak berangkat, penyetop-an bus-bus di jalan, kami di foto, di absen, bahkan jalan tiba-tiba di perbaiki dengan alasan kurang jelas, tapi rasa aman, itu selalu mengiringi. Bahkan qodarullah, HP yang sebelumnya bermasalah hampir tidak bisa dipakai lagi tiba-tiba menjadi sehat paripurna di hari 212 itu.
Berat memang, orang tua sebenarnya khawatir, aku pun sempat meminta maaf sebelum berangkat takut kalau-kalau tidak sampai rumah. Bahkan sempat mau buat surat wasiat, mengingat banyak amanah yang belum terselesaikan. Aku tau, ibuku sebenarnya termasuk orang yang khawatiran. Tapi akhirnya ibu melepasku, dengan doa beliau. Aku dan teman-teman perempuanku akhirnya berangkat. Kami serombngan kumpul di museum Lampung. Hari itu, secara sepihak bus-bus yang sudah booked oleh panitia tiba-tiba membatalkan. Sedang manusia sudah tumpah ruah di museum Lampung. Panitia kelimpungan cari-cari carteran, tidak ada yang mau. Akhirnya di antar bus trans Lampung, lalu kami ke pelabuhan panjang. Beberapa yang tidak serombongan dengan kami sudah ada yang sampai pelabuhan Bakau. Sedang kami diberhentikan di pelabuhan merak yang lebih jauh dari pelabuhan ss sebenarnya. Dodarullah di saat itupun, normalnya perjalanan paling lama memakan waktu 9 jam (jika lewat bakau hanya 3 jam), tapi malam itu mendadak kapal yang kami naiki, tidak pindah semeterpun dari tempat dekat pelabuhan Tanjung Priok. Lama perjalanan laut kami akhirnya 12 jam, luar biasa. Tidak hanya itu, sebelum naik pun kami harus menunggu dulu, lama sekali. Mau aik pun kami diminta berbaris. Lalu pindah posisi, lalu masuk ke kapal satu persatu sambil di amati kami perorang, sampai kapal belum duduk masih di bawah tempat parkir kendaraan, kami masih disuruh absen, serasa tawanan kami ini.
Di pelabuhan, kami tiba sekitar jam 01.00 dini hari, kami 'disambut' polisi, tapi untungnya tidak lama, lalu kami dimasukkan ke Kopaja, kami khususnya para perempuan muat nggak muat dijadikan satu bus mini Kopaja, bayangkan kami sambil berdiri-berdiri berdesakan, dengan gaya Kopaja yang ngebut bahkan ditikungan keluar pelabuhan yang kanan kiri air laut, membuat hati berdesir kalau-kalau nyemplung laut, sia-sia belum sampai monas! Walau tak ada yang sia-sia sebenarnya.
Di scene film 212 The Power of Love, akhirnya Rahmat yang awalnya memiliki niat jahat untuk menghentikan aksi longmarch, bahkan saat tiba di lokasi aksi masih berdebat sengit dengan sang ayah, akhirnya, Rahmat, selama kurang lebih sepuluh tahun, siang itu takbir pertama mengiringi solat Jumatnya di Monas dengan guyuran air hujan. Rahmat akhirnya terketuk hatinya. Sang ayahpun akhirnya mulai akur dengan Rahmat. Hingga akhirnya Ki Zainal terjatuh di depan Rahmat, saat tahiyatul terakhir di solat Jum'atnya, pun tetap dengan guyuran hujan. Lalu apa yang terjadi pada sang ayah? Film ini, membawa isyarat kebaikan antara anak dan orang tua khususnya sang ayah. Karena dalam kehidupan nyata pun, terkadang sosok ayah cenderung tidak memperlihatkan rasa kasih sayangnya terhadap anak, akan tetapi sebenanya di balik sosok 'cueknya' ayah menyimpan rasa cinta yang mendalam pada anaknya, bahkan tanpa diketahui anaknya. Berbahagialah.
Desember 2016.
Aku menjadi saksi, bagaimana mereka solat ditemani guyuran hujan. Doa kami melangit, mengeras, kami tidak mengkafir-kafirkan siaapun, kami takzim berdzikir bersama, bercermin diri bahwa dosa kamilah teramat besar, diri inilah yang hina, tapi kami enggan berputus asa, walau hina, kami tak sudi agama kami dihina. Kami meohon agar hujan turun, dan hujan pun akhirnya turun, hati kami menjadi damai, menjadi tenang, meski lautan manusia sempat mebuat kami khwatir terpisah rombongan, bahakn untuk jalan pun susah sekali, kami berdempetan, bahkan kaki ini bergeser dengan sendirinya tnpa kami minta untuk jalan saking banyaknya massa. Apalagi jika kami harus memoong jalan untuk menyebrang, kami hanya terus berdoa semoga kami tetap diberi kekuatan untuk berjalan hingga sampai tempat dimana kami memarkirkan bus yang luamayan jauh dari Monas.
Hari itu banyak pelajaran yang hanya bisa dimaknai oleh hati. Tentang seorang bapak penjual es yang ikut menangis melihat kami berjalan. Tentang solidaritas, banyak makanan dan minuman tumpah ruah secara gratis untuk kami para pejalan kaki peserta aksi. Mereka bukan dari mana-mana, tapi dari keikhlasan mereka semua secara pribadi. Seorang ibu-ibu yang sudah umur dan jalannya kepayahan tapi semangat sekali ikut rombongan kami berkata,"Saya ini orang Islam, saya ini nggak mau agama saya dilecehkan orang." Kata sesederhana itu, membuat tertegun orang yang mendengarnya. Tak peduli opini yang berkembang oleh yang katanya pakar-pakar jika aksi kami aksi yang ditunggangi politik. Kami menyaksikan sendiri, kami merasakan sendiri. Kami cinta ulama, kami cinta Islam walau kami, sekali lagi masih berlumuran dosa. Dan semoga itu menjadi hujjah bagi kami, saat kami hendak dimasukkan ke dalam neraka. Allahumma aamiin.
Akhirnya film itu pun usai, temanku juga ternenyuh menonton film itu. Terbukti wajah mereka tampak wajah-wajah sendu, bahkan teman yang duduk di sampingku dia mengeluarkan tisu. Terimakasih susah mengingatkan kembali tentang ruh dua tahun lalu. Tetiba aku rindu teman-teman seperjuanganku saat aksi, semoga mereka selalu Allah berikan petunjuk dan dimudahkan segala urusan kebaikan-kebaikan.
Tidak selesai sampai di situ, aku baru sadar, hari ini aku memakai jilbab oren, jilbab yang sama persis seperi yang aku pakai saat aksi 212. Sebagai penulis artikel muda, aku pun sambil menyelam minum air. Aku sempat mengadakan liputan di sana. Aku mewawancarai beberapa orang yang sudah dan hendak menonton. Kalian tahu bagaimana air muka mereka yang sudah nonton saat aku tanya-tanya, apa kesan menonton film ini? Wajah mereka umumnya seperti menyimpan rasa sedih, entah itu sedih apa? Yang pasti mereka tidak rela jika agama mereka dinistakan, mereka pasti cinta ulama mereka. Bahkan seorang bapak yang mengantar anak-anak didiknya yang aku interview sampai berkaca-kaca saat menjawab pertanyaanku. Aku jadi melihat lintasan bayangan aksi lagi dari bapak itu.
Alhamdulillah, ternyata masih banyak yang peduli dengan agama Islam ini. Aku bersyukur hari ini akhirnya bisa menonton film 212 The Power of Love sembari bernostalgia mengenang hari-hari yang mendebarkan itu tapi menghujam dalam bagi siapa saja yang ikut dalam aksi 212 tersebut. Baik aksi dan film ini, semuanya sama-sama menunjukkan bahwa Islam itu tidak radikal, walau kami tumpah ruah ke jalan tapi lihatlah (dengan hati), sampah kami punguti, rumpur tanaman kecilpun kami jaga-i, kami lindungi pasangan pengantin beda agama yang akan melangsungkan niat baiknya di Gereja. Lihatlah kami, tanpa ada pikiran keji.Kami hanya ingin ada keadilan di negeri ini, saat itu dan sampai kapaanpun, tidak melulu soal agama, tapi semoga kedepan kami semua dan bangsa ini menjadi insan yang lebih baik lagi. aamiin.
Pare, 13 Mei 2018
Betty Permana
(maaf tulisan masih acak-acakan, karena belum sempat revisi karena dikejar deadline)
(maaf tulisan masih acak-acakan, karena belum sempat revisi karena dikejar deadline)
Subhannallah,,,, terharu bacanya.. betapa indahnya pengalaman yang terukir dalam sejarah kebangkitan umat islam atas terzoliminya umat. dulu saya pun sempat ingin ikut aksi ini, namun pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, ada teman satu kantor yang ikut dalam aksi 212. setelah mendengar ceritanya tidak jauh berbeda dengan alur cerita di film 212 The Power of Love.
BalasHapusMasya Allah pengalaman Beti ikut barisan 212 bikin merinding deh dan bikin iri gabung sama yang lainnya Semoga tetap istiqomah ya.
BalasHapus